"Tentu saja tidak, bagaimana mungkin aku mengantuk, kan aku sedang berjalan..." jiwaku memandangku dan tersenyum.
"Yah, kau berjalan. tapi tahukah kau kemana tujuanmu? lanjut jiwaku. aku termenung sesaat, aku tak menemukan jawaban yang tepat dan memang aku tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. karena aku merasa semua jalanku buntu atau tertutup sesuatu. Lalu aku menggeleng lemah.
Kami tiba di sebuah bukit hijau yang indah, setelah kami menaiki tanjakan yang tinggi namun tidak curam, penuh bunga-bunga yang sedang bermekaran, burung-burung berkicauan, ada aliran air yang tenang mengelilingi bukit ini, ada pelangi menghias langit, padahal tidak ada hujan, aku terpukau begitu lama, aku kini berada di sebuah tempat yang tak pernah aku datangi sebelumnya.
"Indah sekali... kau tahu dari mana tempat ini, jiwaku?" seruku penuh kekaguman
"Ini semua milikmu, kepunyaanmu, akan jadi milikmu jika kau berhenti mengantuk dan tertidur.."
Aku tersentak, ku pandang jiwaku yang berkata-kata penuh makna namun menusuk sekali. lalu sekali lagi aku menggeleng
"Tidak jiwaku, aku tak pantas berada di sini, karena aku tak mau mengotori tempat ini, aku adalah..."
"Apa maksudmu?" Jiwaku sedikit tak mengerti, memotong kalimatku.
***
Aku adalah racun bagi jiwaku, yang tak pernah di ketahui jiwaku. Dan racun itu pelan namun pasti akan membunuh aku dan jiwaku. Aku membuat racun itu dengan kedua tanganku di tempat yang berbeda suatu hari, aku ingat awalnya.
Demi cinta yang mati, aku berselubung dusta mengharapkan hadirnya asmara-asmara dengan iming-iming kenikmatan surga di bawah matahari dan bulan, tanpa jiwaku tahu, atau mungkin jiwaku sudah tahu, akhirnya aku berikrar janji dengan asmara pujaanku. sementara asmara-asmara yang lain ku biarkan menunggu sumpahku dengan lunglai dan harapan semu, mereka setuju berdiri menanti dalam antrian panjang kompetisi permainanku. Aku tertawa bahagia dalam keberuntungan tak abadi, hartaku kemana-mana, uangku mengalir tenang seperti air di sungai, kerajaanku melampaui besarnya dunia ini.
Asmara pujaanku akan datang jika merasa haus akan rinduku dan sumpahku merelakan tubuhku di obrak-abrik bak singa menggasak habis daging mentah, dan aku meminum racun racikanku sendiri sebagai penawar penyesalan yang terjadi setelahnya. begitu seterusnya entah sampai kapan. Asmara pujaanku bukanlah cinta, aku tahu, dia hanyalah angin kesepian yang mencari tempat pelarian dari gersangnya suatu negeri. Dia menghilang ke negeri lain manakala aku berharap petolongan dan ia berubah menjadi serigala hitam seketika manakala aku menolak tubuhku di obrak-abrik lagi. tubuhku kini nyaris tinggal belulang rapuh. Tapi kenapa aku bertahan dalam ikrar? kenapa aku selalu berkata 'iya' untuk ajakannya? Apakah yang aku cari?
Entahlah, itulah tadi pertanyaan yang diajukan jiwaku yang tak dapat aku jawab. tapi yang pasti aku tahu, aku telah bersumpah janji dengan sebuah dosa yang berwujud asmara. dan kini aku telah hancur olehnya, hancur menjadi remah-remah yang tak bisa di sentuh lagi, rompal bagai batu kapur yang tercungkil dengan kasar dari perbukitan tinggi. aku seolah-olah sudah di jebloskan ke dalam kesesatan hidup tanpa jalan keluar terbaik.
"Aku tak apa-apa..." Suara jiwaku lirih, selirih hembusan angin sore itu, aku semakin merasa bersalah dan bodoh.
"Maafkanlah aku..." sesalku yang mungkin sudah terlambat.
Beberapa saat lamanya kami terdiam. terdiam dalam pikiran masing-masing, aku dengan segala dosaku, sesalku dan khianatku kepada pusat kehidupan ini. Mati saja aku! sumpahku kepada diriku sendiri, sementara jiwaku terdiam seolah tenang, tak terjadi apa-apa, seperti mati. Hah, mati??!!. Oh..aku semakin kalut terbelenggu rasa bersalah karena racun-racun sialan itu.
"Hai jiwaku, maafkanlah aku, please kau jangan diam terus..." Aku memohon dengan gila, mungkin memang sudah gila sejak beratus-ratus hari yang lalu.
"Aku sudah memaafkanmu dan maafkanlah aku juga. Berhentilah memohon maaf, aku ini tak sempurna sama denganmu, tak ada manusia yang tak punya dosa. Dan dari ceritamu kurasa kau belum melakukan apa yang kau katakan itu. Kau hanya berimajinasi dengan alam kotormu. kau ketakutan dengan kenyataan yang belum pernah terjadi, kau mengira semua itu akan menimpamu bertubi-tubi layaknya gelombang tsunami di bumi. Benar?..."
Aku tergagap, tersadar. harusnya akulah yang membuat pengakuan itu, bukan jiwaku. kenapa selalu bertolak belakang?. AKu ini pengecut atau apa sih. atau jiwaku yang sok jadi pahlawan?
"Lalu untuk apa kau meminta maaf untuk sesuatu yang bahkan kau sendiri belum tahu itu terjadi atau tidak, bahkan berjalan saja kau belum?" jiwaku melanjutkan
"Apa aku sedang bermimpi, ada apa sih sebenarnya denganku?" tanyaku dengan ketololan yang memuakkan, memusingkan.
"Kau tertidur, maka bangunlah sekarang. kau selalu bilang mengantuk, mengantuk dan mengantuk. hidup bukanlah tentang tidur bermimpi bangun dan mengantuk lagi, tapi hidup adalah bermimpi, berdoa, bangun, bergerak dan berlari. kau sudah bangun dan bermimpi, kau juga sudah bergerak sedikit, tapi belum berlari dan berdoa. banyak tidur saja akan membuatmu kehilangan usia, banyak bermimpi saja akan membuatmu kehilangan kesempatan emas. jadi ke-lima-nya harus berjalan bersama-sama di kehidupan nyata. Mimpimu sungguh mengerikan, kau harus mengubahnya sebisa mungkin dengan impian yang lebih cantik daripada sebelumnya, dan aku yakin kau pasti bisa. Dan asmara-asmaramu itu buang saja dengan sopan, kau tak perlu menyimpan banyak asmara jika tak mau terluka. pilih saja satu atau tidak sama sekali itu lebih baik. yakinlah bahwa saat kau menjadi sinar yang paling terang, maka kedudukanmu sama dengan kejora dan kau akan bersanding dengan rembulan, itu pasti."
Aku terharu dan menangis. selalu senjata yang memenangkan adalah tangisan. Lalu aku melangkah turun dari bukit ini, mengakhiri mimpi bodoh dan sesatku, membuang khayalan yang semu dan mematikan tentang tidur dan menjadi kaya, menyedot racun-racun yang sudah mengkontaminasi hidupku, melepas satu per satu asmara yang melekat di hati dengan sopan, lalu dengan hati-hati karena tak mau merusak bunga-bunga yang indah di sini, aku turun kembali ke titik terendah dari bukit itu. kini aku adalah kami, yaitu aku dan jiwaku satu.
Dan kami belum kalah.